Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat  kita, entah karena orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena  ingin menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab yang lain.Akan tetapi,
karena ketidaktahuan banyak dari kaum muslimin tentang  hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak angkat’, maka masalah yang  terjadi dalam hal ini cukup banyak dan memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua  angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehinga tidak memperdulikan  batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung telah menjelaskan dengan lengkap  dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini,  sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk Allah Ta’ala dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak akan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.
Tradisi sejak jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam1. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan tersebut dalam firman-Nya,
{وَمَا جَعَلَ  أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ  وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak  kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu  saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan  (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala  ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain  ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di   pertengahan surah al-Ahzaab,
{مَا  كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ  وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki  di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan  adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”2.
Status anak angkat dalam Islam
Firman Allah Ta’ala di atas menghapuskan kebolehan adopsi  anak yang dilakukan di jaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak  angkat dalam Islam berbeda dengan anak kandung dalam semua ketentuan dan  hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya:  perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian  (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi bahwa dia  (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan  dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak  itu memiliki dua orang ayah3.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan  dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah  adalah sebagai berikut:
1. Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ  هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ  فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ  فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ  اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama  bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan  jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka  sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa  bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya  adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala)  yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu  mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu  anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan  untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya  (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”4.
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari  orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang  menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan  warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia5.
3. Anak angkat bukanlah mahram6,  sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka  untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut,  sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu  tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai  anak angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi  anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki  dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah  biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh  aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan  hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”7.8
4. Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi  bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman  Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَإِذْ  تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ  أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا  اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ  فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ  عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا  مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا}
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah  telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat  kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah”,  sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan  menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang  lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri  keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan  dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini)  isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu  telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya).  Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala  ingin menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin,  (yaitu) bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang  sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak  angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat mereka…Dan jika Allah  menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu sebab bagi  (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah  yang  dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai turunnya firman Allah:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka” (QS al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid bin Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  akan menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan terjadinya sesuatu antara  Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceraikan istrinya…(Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha sebagaimana ayat tersebut di atas)”9.
Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di antaranya:
- Dari Ibnu Abbas radhiayallahu ‘anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk paha kami dan  bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah kalian melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10 Dzulhijjah) sampai matahari terbit”10.
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada: “Wahai anakku”11.12
Oleh karena itu, imam an-Nawawi dalam kitab “shahih Muslim” (3/1692)  mencantumkan hadits ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada  selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut untuk  menunjukkan kasih sayang.
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat tentang hukum mengadopsi anak dalam  Islam. Meskipun jelas ini bukan berarti agama Islam melarang umatnya  untuk berbuat baik dan menolong anak yatim dan anak terlantar yang  membutuhkan pertolongan dan kasih sayang.
Sama sekali tidak! Yang dilarang dalam Islam adalah sikap berlebihan  terhadap anak angkat seperti yang dilakukan oleh orang-orang di jaman  Jahiliyah, sebagaimana penjelasan di atas.
Agama Islam sangat menganjurkan perbuatan menolong anak yatim dan  anak terlantar yang tidak mampu, dengan membiayai hidup, mengasuh dan  mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang benar. Bahkan perbuatan ini  termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Aku dan orang yang menyantuni anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya13.
Artinya: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati  kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 14.
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah  dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha  sempurna, agar Dia melimpahkan taufik dan kemudahan dari-Nya kepada kita  untuk mencapai keridhaan-Nya dengan melaksanakan semua kebaikan dalam  agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 18 Rabi’ul awal 1432 H
—
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
—
1 Lihat “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 658) dan “Aisarut  tafaasiir” (3/289).
2 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
3 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
4 Ibid.
5 Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab  “Tafsir al-Qurthubi” (14/119).
6  Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan   sebab yang mubah (diperbolehkan dalam agama). Lihat kitab “Fathul  Baari” (4/77).
7 HSR Muslim (no. 1453), hadits yang semakna juga terdapat dalam  “Shahih al-Bukhari” (no. 3778).
8 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
9 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 665).
10 HR Abu Dawud (no. 1940), Ibnu Majah (no. 3025) dan Ahmad (1/234),  dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
11 HSR Muslim (no.2151).
12 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
13 HSR al-Bukhari (no. 4998 dan 5659).
14 Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul  ahwadzi” (6/39).






