KAIDAH KEEMPAT
Nama Allah Ta'ala menunjukkan Dzat dan Sifat-sifat-Nya, baik secara Mutahabaqah (dari tinjauan holistik/tekstual), Tadhammun (dari tinjauan parsial/konteksrual), maupun secara Iltizam (dari sisi di luar makna tersebut).

Sebagai contoh, nama Al-Khaaliq secara muthabaqah (tinjauan secara utuh/tekstual) menunjukkan Dzat Allah dan juga sifat mencipta (al_khaliq). Dan secara tadhammun (tinjauan parsial/kontekstual), nama ini menunjukkan Dzat Allah saja, atau atas sifat al-khalq saja. Dan secara iltizam (sebagai konsekuensi dari makna al-khalq) juga menunjukkan atas sifat ilmu dan qudrah (kemampuan) yang dimiliki Allah. Oleh karena itu, setelah Allah menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi, Ia berfirman,
 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq:12).
Dan tinjauan/penunjukan secara iltizam ini sangat barmanfaat bagi penuntut ilmu, bila ia bisa merenungi makna-makna (yang ada) dan bila ia juga diberi Allah pemahaman terhadap masalah talazum (bahwa ada makna lain sebagai konsekuensi dari makna yang ada di dalam sebuah lafadz). Karena dengan hal ini, dari satu dalil saja dapat dihasilkan berbagai permasalahan (pembahasan).
Perlu diketahui, bahwa lazim (konsekuensi) dari ucapan Allah Ta'ala dan ucapan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam -bila memang benar/ patut untuk menjadi lazim- maka lazim tersebut adalah benar.
Karena kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya adalah benar. Dan konsekuensi dari kebenaran merupakan kebenaran pula. Juga, karena Allah ta'ala mengetahui segala hal yang menjadi konsekuensi dari ucapan-Nya dan ucapan Rasul-Nya, sehingga konsekuensi tersebut adalah memang yang dimaukan (dari ucapan Allah dan Rasul-Nya).

Adapun konsekuensi dari ucapan seseorang selain Allah dan Rasul-Nya mempunyai tiga keadaan:
Pertama:
Konsekuensi (dari sebuah pernyataan) disebutkan kepada si pembuat pernyataan dan ia membenarkan hal itu sebagai lazim dari ucapannya. Sebagai misal, seseorang yang menolak adanya sifat fi'liyah bagi Allah mengatakan kepada orang yang meyakini adanya sifat fi'liyah tersebut, “penetapanmu bahwa Allah mempunyai sifat fi'liyyah berkonsekuensi bahwa ada perbuatan Allah yang baru (lakukan).
Orang yang menetapkan adanya sifat fi'liyyah tersebut menjawab, “Ya, dan saya membenarkan konsekuensi ini. Karena Allah Ta'ala selalu dan senantiasa Maha melakukan apapun yang Ia kehendaki, dan ucapan maupun perbuatan-Nya tidak akan pernah usai.” Sebagaimana firman-Nya,
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah, 'Bila sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)'.” (Al-Kahfi: 109)
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِي
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Luqman: 27).
Dan barunya satuan-satuan perbuatan Allah tidak memberikan konsekuensi adanya kekurangan pada diri Allah.
Kedua:
Konsekuensi (dari sebuah pernyataan) disebutkan kepada si pembuat pernyataan dan ia menolak talazum (pelaziman) antara pernyataannya dengan konsekuensi tersebut.
Sebagai contoh, seseorang yang menolak adanya sifat bagi Allah mengatakan kepada orang yang menetapkan adanya sifat tersebut, “penetapanmu bahwa Allah mempunyai sifat, berkonsekuensi bahwa Allah Ta'ala menyerupai makhluk dalam sifat-sifat-Nya.'
Orang yang meyakini adanya sifat bagi Allah Ta'ala mengatakan,
“Hal itu bukanlah konsekuensi dari penetapan saya. Karena sifat-sifat Al-Khaliq disandarkan kepada-Nya, tidak disebutkan secara mutlak sehingga (bila disandarkan secara mutlak tanpa disandarkan kepada Allah) akan memungkinkan munculnya konsekuensi yang Anda sebutkan tadi. Dan atas dasar ini maka sifat-sifat Allah hanya khusus milik Allah dan sesuai dengan-Nya. Sebagaimana Anda -wahai orang yang telah menolak adanya sifat bagi Allah- meyakini/menetapkan bahwa Allah Ta'ala mempunyai Dzat, dan Anda menolak beranggapan bila Dzat Allah menyerupai dzat makhluk. Apa bedanya antara pembahasan tentang Dzat Allah dengan pembahasan tentang sifat-sifat-Nya?”
Dan hukum konsekuensi dari dua keadaan tadi amatlah gamblang.
Ketiga:
Konsekuensi (dari sebuah pernyataan) hanya dapat didiamkan (tidak bisa dikomentari), sehingga tidak dapat ditetapkan ataupun ditolak. Dalam keadaan seperti ini, hukum konsekuensi tidak dapat dinisbatkan kepada si pembuat pernyataan.
Karena seandainya konsekuensi itu disebutkan kepadanya, ada kemungkinan dia akan menerimanya sebagai konsekuensi dari pernyataannya, atau menolaknya. Dan kemungkinan lain, akan jelas baginya benarnya pelaziman tersebut sekaligus kebatilannya (karena si pembuat pernyataan tidak memperhitungkan adanya konsekuensi seperti itu yang akan muncul dari pernyataannya, padahal ia tidak menginginkannya), karena rusaknya konsekuensi menunjukkan atas rusaknya malzum (pernyataannya).
Dengan adanya dua kemungkinan ini, tidak dapat ditarik sebuah hukum bahwa konsekuensi dari sebuah ucapan adalah ucapan (yang lain).
Seandainya dikatakan, “Jika lazim ini adalah konsekuensi dari pernyataan seseorang, maka sepatutnya lazim itu juga menjadi ucapannya, karena demikianlah (hukum) asalnya. Terlebih lagi dengan begitu dekatnya talazum (pelaziman antara pernyataan dan lazim/konsekuensi yang diberikan).”
Maka kita katakan, “Ucapan ini tertolak. Karena seseorang itu hanyalah manusia yang mempunyai kondisi-kondisi internal maupun eksternal yang dapat menyebabkannya lalai dari konsekuensi yang mungkin muncul dari ucapannya.
Sehingga terkadang ia lalai, atau lupa, atau pikirannya kacau, atau mengucapkan sesuatu ketika terdesak dalam sebuah perdebatan, tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari pernyataannya, dan yang semisalnya.”

 

Leave a Reply

Posted by uluumun

KEBERKAHAN HARTA DITANGAN ORANG SHALIH

Manfaat harta yang bersih dan halal di tangan orang shalih sangat banyak. Ibarat pohon kurma yang tidak menyisakan bagian sedikit pun, melainkan seluruhnya bermanfaat untuk manusia, sehingga tidak ada alasan bagi seorang muslim yang ingin meraih hidup bahagia di dunia dan akhirat untuk bermalas-malasan dan berpangku

Posted by uluumun

ROKOK DALAM TIMBANGAN SYARIAT ISLAM

Benda yang satu ini, meski kecil ukurannya, namun mengandung berbagai zat dan racun yang amat berbahaya bagi manusia. Tapi anehnya,